Pasangan Kita: Cermin Diri Kita

Advertisement
Pasangan Kita: Cermin Diri KitaSkip Row Blog - Pasangan Kita: Cermin Diri Kita

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An-Nur:26)

Bagi sebagian teman-teman muda bunyi kalimat suci di atas seringkali menimbulkan kekhawatiran. Cemas jika nantinya dia mendapatkan pasangan hidup yang tidak baik. Ungkapan yang lebih mendekati adalah suasana hati yang dilematis. Mungkin semua orang sebelum menikah akan membayangkan pasangan hidupnya kelak adalah orang yang baik, berwajah rupawan, syukur-syukur kalau ada tambahan kaya.

Harapan yang ideal. Namun seringkali kenyataan justru memberikan pilihan dan tawaran berbeda. Ada yang cakep, tapi sangat disayangkan hatinya tidak baik. Kalau menjatuhkan pilihan kepadanya, berarti seperti itulah kualitas diri kita. Ada yang kenyataan pribadinya rasanya tak ada alasan untuk tidak simpati apalagi mencela, sayang tampilannya tak sesuai kriteria serta tak menumbuhkan selera. Memang ada yang tak tercela lahir batinnya, sayangnya dia tidak naksir kita. Kenal saja nggak.

Sampai ada yang setengah menyesal menggumam dalam hati: ‘Aku seharusnya lebih pantes sama dia.” Hmm….penilaian diri yang begitu tinggi. Mungkin merasa diri baik dan kebetulan tampang juga oke. Tapi hal itu juga sering belum menjadi modal yang cukup untuk menyunting dambaan hati yang di mata tampak begitu sempurna. Barangkali demikianlah salah satu rahasia rumus ‘jodoh ada di tangan Tuhan’.

Kalau kita mau sedikit menyingkir dari kesibukan hiruk pikuk ukur mengukur diri sendiri serta anggapan akan nilai kepantasan bagi orang lain yang kerap subyektif, menuju kebeningan kejujuran hati, mungkin kita akan menemukan jawaban-jawaban yang cukup mencengangkan. Termasuk untuk membaca realitas pasangan yang dijodohkan Yang Maha Kuasa dengan kita maupun pasangan lain yang sering mengundang rasa iri dan kaitannya dengan pemahaman kalimat suci di atas.

“Janji Tuhan kan kalau orang baik akan diberi jodoh yang baik juga. Aku koq nggak?” Saya pernah mendengar keluhan seperti itu. Saya kira andapun pernah mendengar kalimat senada. Saya ingin menarik hal ini demi kepentingan kita untuk berkaca diri.
Dengan mengucapkan kalimat seperti itu, sengaja atau tidak, kita sedang ‘memprotes’ Tuhan. Jika kita segarkan ingatan, bukankah yang memilih pasangan hidup ya kita-kita sendiri. Yang naksir ya kita sendiri. Yang ngebet banget ya kita sendiri. Lalu, protesnya koq kepada Tuhan?
“Tuhan tidak adil. Orang baik, katanya dapat orang baik. Dia yang gitu-gitu aja dapat orang baik. Tapi, kenapa aku yang…….?”

Nah…nah, inilah contoh perangkap pikiran dan perasaan. Siapapun sangat mungkin terjerat dalam perangkap pikiran dan perasaan seperti itu.
Dengan kalimat suci Tuhan dan kenyataan yang sering tidak selaras itu seolah kita didorong menyelami telaga pemahaman yang sebenarnya sejuk di jiwa kalau kita suka melakukannya
.
Pertama, sebenarnya tanpa sadar kita sedang melakukan kekeliruan dengan melegitimasi diri sudah mencapai kesempurnaan. Karena itu, bukan saja orang lain yang kita hakimi tidak baik, kita juga sudah berani menghakimi Tuhan telah membuat keputusan yang salah.
Firman Tuhan adalah standar yang pasti karena Dia-lah yang Maha Tahu kenyataan obyektif kita sebagai manusia. Sedangkan diri kita penuh keterbatasan, termasuk keterbatasan untuk mengenal diri sendiri. Maka pertanyaan yang harus diajukan, apakah diri yang sudah kita nilai baik, memang benar-benar baik seperti penilaian Tuhan?
Firman Tuhan adalah standar obyektif dalam menilai hamba karena Dia tidak punya kepentingan dan interest apapun kepada hambaNya. Sedangkan penilaian diri sendiri sangat subyektif, karena diri kita penuh dengan kepentingan. Salah satunya adalah kepentingan untuk diakui sebagai orang yang baik. Sehingga kita melebih-lebihkan diri sendiri karena sifat manusiawi kita memang tidak suka dianggap kurang, apalagi buruk. Ditambah lagi, kita sering tidak berani melihat kekurangan diri sendiri.

Kedua, seperti apa pasangan hidup yang mendampingi kita akan dimulai pada saat kita memilih pertama. Akan tercermin siapa kita sejak saat itu. Jika fokus utama perhatian adalah tampilan maka terbaca kalau kita termasuk orang yang dalam hatinya lebih menomorsatukan ‘kebaikan’ lahir. Tentu berbeda dengan standar Tuhan yang menilai keluhuran dari kepribadian yang mencerminkan sikap hati. Maka, jangan salahkan Tuhan kalau pandandan meleset melihat sisi kepribadiannya.

Ketiga, pasangan yang belum baik bisa menjadi cermin untuk kembali menengok kenyataan diri kita. Barangkali kita sudah begitu yakin diri kita baik. Keyakinan itu semakin kuat jika ditambah pengakuan semua orang. Tanpa terasa keyakinan seperti itu menjadikan mata kita tertutup untuk mampu melihat kelemahan yang ada pada diri sendiri. Kelemahan-kelemahan itu bisa jadi di luar pengamatan kita, atau kita memang tidak mau mengakui.
Yang lebih bijak menyikapi kenyataan seperti itu adalah merendahkan hati dengan berbisik kepada diri sendiri: “Jangan-jangan aku memang belum baik.” Jika tidak mampu bersikap rendah hati dan jujur, yang muncul adalah ketok palu vonis-vonis kepada pasangan kita. “Kamu seharusnya bersyukur aku jadikan istri. Kalau tidak, bla…bla…” Atau, mengungkit-ungkit masa lalu. Terucap halus, tapi menyakitkan hati: “Sebenarnya aku dulu sudah ditawari putrinya bosku. Tapi….bla…bla..”
Sikap santun menguap sedikit demi sedikit. Sikap jujur juga semakin memudar. Hanya karena satu sebab; terlalu yakin diri sudah baik. Padahal, sudah cukup untuk membuktikan diri tidak baik, ketika sikap santun diabaikan dan jujur dikesampingkan. Yang menyedihkan kondisi itu diikuti dengan kebersamaan rumah tangga yang berantakan. Kambing hitamnya, pasangan yang kita vonis tidak baik. Sejatinya, itulah pelarian pribadi kita yang tidak punya kemampuan menyelesaikan masalah dengan bijak.
Pasangan yang belum baik akan lebih positif jika disikapi sebagai penyadar diri. “Mungkin inilah diriku yang sebenarnya. Aku selama ini salah lihat dan orang-orang itu juga tidak tahu diriku yang sebenarnya.” Terlecutlah diri untuk melakukan instropeksi ke dalam. Kemudian dijalinlah kebersamaan untuk melakukan evaluasi bersama secara jujur.

Keempat, selain sebagai cermin diri, pasangan kita juga menyiratkan pesan Tuhan bahwa berpasangan adalah sebuah proses membangun diri. Pasangan yang terlihat memiliki banyak kelemahan di mata kita, bukan berarti pribadi yang bisa divonis mati dia benar-benar buruk. Sebaliknya, perlu dilihat sebagai pribadi yang sedang menjalani proses pembentukan diri yang positif. Tinggal pertanyaan berikutnya adalah apakah kita termasuk pribadi yang suka menerima hasil instant, ataukah yang menghargai suatu proses. Yang jelas, Tuhan sangat menghargai sebuah upaya. Dalam pandanganNya kebaikan seseorang tidak dinilai final, sampai dia bisa membuktikan diri secara konsisten menjalani pembenahan diri terus menerus hingga akhir hayat. Sehingga yang terbaik di mataNya bukan orang yang sudah merasa baik, tetapi menjalani proses perbaikan. Karena itulah pribadi yang selalu merasa dirinya kurang baik. Tetapi itulah kebaikannya.

oleh jon hariadi untuk ruang hati pro2fm surabaya
Advertisement
Comments
0 Comments
Back To Top