Advertisement
Musim kemarau yang
sangat panjang di Indonesia membuat banyak daerah mengalami kekeringan akibat
tidak datangnya curah hujan. Bahkan ada di beberapa wilayah masyarakatnya harus
rela menggunakan air bekas dari kubangan
hewan akibat susahnya mendapatkan air
bersih. Tentu hal ini berdampak bagi kelangsungan hidup manusia.
Dengan kondisi
seperti ini sudah banyak daerah yang melakukan sholat istisqo untuk meminta
hujan. Namun bagi daerah yang tradisi masyarakatnya masih kuat, mereka biasanya
mengadakan ritual adat memohon kepada sang pencipta untuk menurunkan hujan di
daerah mereka. Seperti kelima daerah berikut ini, mereka memiliki ritual 'unik'
dalam memanggil hujan. Mau tahu daerah mana dan ritual 'unik' apa yang mereka
lakukan?
Cambuk Badan Tiban di Tulungagung (tempo.co) |
1. Cambuk Badan Tiban di Tulungagung
Tiban
merupakan salah satu budaya tradisional Desa Wajak, Boyolali, Tulungagung, yang
merupakan suatu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan menggunakan
cambuk sebagai senjatanya. Istilah tiban
muncul pada jaman pemerintahan Tumenggung Surotani II. Awalnya, kegiatan ini
dilakukan untuk mencari bibit prajurit tangguh dan gagah perkasa. Sampai sekarang
kesenian tiban masih dilestarikan di daerah wajak dan sekitarnya.
Hanya
saja, ritual cambuk badan tiban yang masih dilaksanakan saat ini, telah
bergeser dari tujuan awal. Jika semula tujuannya untuk mencari bibit prajurit,
saat ini adu cambuk tiban dilaksanakan dengan maksud untuk meminta hujan.
Ritual tiban digelar pada musim kemarau. Tak heran, demi hujan segala upaya
dilakukan, baik oleh kalangan intelektual atau kaum supranaturalis dan
masyarakat awam. Kerinduan masyarakat dengan adanya hujan, dibeli dengan darah
yang kerap terjadi pada ritual tiban.
Melalui
peristiwa sakral yang penuh persabungan kanuragan dan adu kesaktian itu,
masyarakat setempat berusaha mendatangkan hujan. Tradisi ini tidak hanya marak
di Desa Wajak, Boyolali tapi juga berkembang sampai pelosok daerah di Kabupaten
Blitar, Trenggalek, Kediri dan Ponorogo. Dalam sejarah lain disebutkan, sebelum
digelar tiban, acara dibuka dengan “ngedus kucing”. Dalam upacara ini, kucing
disiram dengan air kembang spiritual yang telah dijampe-jampe.
Gedub Ende di Bali |
2. Gedub Ende di Bali
Gedub
artinya memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang antara 1,5
hingga 2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut ende yang terbuat
dari kulit sapi yang dikeringkan. Setelah dikeringkan, tameng kulit sapi
tersebut kemudian dianyam hingga berbentuk lingkaran. Areal gedub ende bisa
dilakukan di mana saja asal medannya datar. Tidak ada ukuran pasti untuk arena
duel gedub ende.
Permainan
yang menjadi tradisi masyarakat Bali ini menuntut kejujuran dari sportivitas
tinggi para pemainnya. Suara tetabuhan menyemarakan permainan. Duel dua pemain
gebug ende diawasi seorang wasit yang disebut saye. Wasit inilah yang nantinya
memberikan peringatan kepada pemain yang melayangkan pukulan ke daerah
terlarang. Beberapa tahun lalu, permainan ini sempat dihentikan karena
menumbulkan konflik antara dua desa. Beruntung konflik tersebut bisa diatasi
hingga tidak meluas menjadi perang antar desa.
Saat
pertarungan berlangsung bisa dibayangkan betapa sakitnya bekas cambukan rotan
apabila terkena badan. Kendati demikian, tradisi ini dipercaya bisa mengundang
turun hujan. Terlebih pertarungan tersebut bisa memercikan darah. Tidak ada
waktu khusus untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Pertandingan baru
akan dihentikan jika salah satu pemainnya berada dalam posisi terdesak dan
dinyatakan kalah.
Ritual Ojung Di Bondowoso (triptus.com) |
3. Ritual Ojung Di Bondowoso
Sebuah
tradisi unik digelar di Desa Klaban, Bondowoso, Jawa Timur pada setiap musim
kemarau panjang. Untuk memohon agar diturunkan hujan, masyarakat di desa
tersebut menggelar ritual atau tradisi ojung yang telah bergulir secara turun
temurun. Ritual ini diawali dengan pagelaran tarian topeng kuna dan rontek
singo wulung. Kedua tarian ini selalu menjadi pembuka dari tradisi ojung.
Ritual
Ojung yang unik ini tidak hanya dilakukan di Bondowoso saja. Ritual ini juga
dilakukan di Pulau Madura dan di Tengger, Gunung Bromo. Yang membedakan antara
ritual Ojung di Bondowoso dan Madura dengan yang di Tengger adalah waktu
pelaksanaannya. Di Bondowoso dan Madura, Ojung dilakukan untuk mengundang
turunnya hujan setelah musim kemarau, sementara di Tengger, Ojung diadakan tiap
perayaan hari raya Karo.
Menurut
mitos, tarian topeng kuna dan rotek singo wulung menceritakan tentang seorang
rakyat yang bernama Juk Seng. Dia dipercaya sebagai demang yang menjalankan
tugas pemerintah. Juk Seng sendiri selalu dibantu oleh orang setia Jasiman dan
murid-muridnya. Juk Seng juga memiliki seorang sahabat seekor singa yang selalu
membantu dalam mengusir penjajah. Setelah dibuka dengan dua tarian ini, ritual
kemudian dilanjutkan dengan meletakan aneka sesaji di mata air sambil membakar
dupa yang dipimpin oleh sesepuh warga sekitar.
Puncak
tradisi ojung terletak pada pertandingan adu pukul dengan sebatang rotan.
Peserta atraksi ini biasanya lelaki dewasa mulai dari 17 tahun. Tak ubahnya
seperti pertandingan, atraksi ini dipimpin seorang wasit. Pertandingan dimulai
dengan pecutan rotan masing-masing pemain. Sebelum memulai pertandingan, kedua
pemain memakai pelindung dari karung. Meski sedikit berbahaya, namun tradisi
ini telah dilaksanakan secara turun temurun. Selain untuk memohon hujan, ritual
ini juga dimaksudkan untuk menolak bala bagi masyarakat desa sekitar.
Ritual Cowongan di Banyumas |
4. Ritual Cowongan di Banyumas
Cowongan
adalah salah satu jenis ritual atau upacara meminta hujan yang dilakukan oleh
masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat
Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan dilakukan dengan bantuan
bidadari Dewi Sri yang merupakan dewa padi dan lambang kemakmuran serta
kesejahteraan.
Melalui
doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan Dewi Sri akan datang melalui lengkung
pelangi menuju bumi untuk menurunkan datangnya hujan berarti datangnya rahmat
illahi yang menjadi sumber kehidupan bagi seluruh mahluk hidup di bumi,
termasuk manusia.
Dilihat
dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambahkan akhiran “an”
yang dalam bahasa jawa banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong
atau therok. Arti dari istilah tersebut adalah berlepotan dan bagian wajah.
Jadi cowongan bisa diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang
untuk menghias wajah. Salah satu daerah yang hingga saat ini masih melakukan
ritual cowongan adalah Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas.
Peraga
cowongan hanya dilakukan oleh kaum wanita, kaum pria tidak diijinkan melakukan
ritual ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, yang datang dan merasuk
dalam properti cowongan adalah bidadari sehingga kaum laki-laki tidak boleh
memegang properti itu. Peraga tidak ditentukan jumlahnya. Dalam setiap
kesempatan memungkinkan berbeda-beda dalam hal jumlah peraga, sesuai dengan
jumlah orang yang siap mengikuti ritual cowongan. Ritual ini biasanya
dilaksanakan pada musim kemarau. Dalam kalender jawa, puncak kekeringan
biasanya dimulai mangsa kapat atau September sampai mangsa kalima atau Oktober.
Ritual cowongan biasanya dilaksanakan pada rentang masa tersebut.
Tradisi Ujungan di Purbalingga dan Banjarnegara |
5. Tradisi Ujungan di Purbalingga dan Banjarnegara
Ujungan
merupakan adu manusia yang dilakukan oleh laki-laki dewasa yang memiliki
kekuatan untuk menahan gempuran pukulan lawan dengan properti rotan. Sebelum
beradu pukul, pemain ujungan menari-nari dengan iringan musik dan sorak sorai
penonton. Ritual yang banyak dilakukan sebagian masyarakat di Purbalingga dan
Banjarnegara ini, hanya digelar pada saat musim kemarau.
Biasanya,
ujungan dilaksanakan pada akhir mangsa kapat atau sekitar bulan September.
Dalam tradisi masyarakat setempat, ujungan dilakukan dalam hitungan ganjil,
misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau bahkan lebih. Apabila setelah
tiga kali dilaksanakan masih belum turun hujan, maka unjungan tujuh kali begitu
seterusnya.
Ritual
tradisional meminta hujan ini hampir mirip dengan ritual ojung di Bodowoso,
yakni dilakukan dengan cara adu manusia. Beda antara ujungan dengan ojung di
Bondowoso adalah perlindungan yang digunakan kedua pemain. Jika pada tradisi
ojung pemainnya menggunakan pakaian karung dan tameng, dalam tradisi ujungan
kedua pemain yang akan beradu hanya menggunakan penahan yang digulungkan pada
sebelah tangannya. Bahkan, kadang kedua pemain membuka pakaian bagian atas
alias bertelanjang dada.
Itulah beberapa
tradisi unik meminta hujan yang ada di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka
meyakini jika alam memiliki kekuatan tersendiri dan bisa disesuaikan dengan
ritual khusus hingga terjadi harmonisasi. Kendati demikian, mereka juga
menyadari jika turunnya hujan merupakan kehendak dari sang maha kuasa.
Bagaimana dengan tradisi di daerah mu? (Duniaandormedaku)
Advertisement